Tak Ada Kesempatan Ketiga
“Dan juara satunya
adalah MTsN Model Martapura.” ucap pembawa acara. Aku, Kak Mirza, dan Kak Rais
berhasil membawa MTsN Model Martapura menjadi juara dalam ajang Bintang Pelajar.
Kami pun bersorak gembira. Begitu juga seluruh teman-teman yang menyaksikan
acara tersebut. Kami bertiga lalu dipersilakan naik ke atas panggung untuk
menerima hadiah. Tentu saja dengan juara II dan III pula. Hari itu aku sangat gembira karena untuk pertama kalinya aku menjadi juara ketika mewakili sekolahku. Meskipun saat itu turun hujan, tetapi hal itu tidak mengurangi rasa syukur dan gembiraku. Apalagi sebelum pulang kami ditraktir makan siang.
menerima hadiah. Tentu saja dengan juara II dan III pula. Hari itu aku sangat gembira karena untuk pertama kalinya aku menjadi juara ketika mewakili sekolahku. Meskipun saat itu turun hujan, tetapi hal itu tidak mengurangi rasa syukur dan gembiraku. Apalagi sebelum pulang kami ditraktir makan siang.
Aku, Kak Rais, dan Kak
Mirza akan mewakili MTsN Model Martapura ssekaligus Kabupaten Banjar dalam
ajang Bintang Pelajar tingkat provinsi. Untuk itu, aku belajar dengan giat. Aku
tidak sabar untuk mengikuti lomba tersebut.
Hari yang
ditunggu-tunggu itu akhirnya tiba. Seharusnya hari itu aku bersantai-santai di
rumah. Tetapi demi mengikuti lomba tersebut, aku rela mengorbankan hari
Mingguku. Meskipun hari itu aku agak tidak enak badan.
Aku berangkat ke sekolah seperti hari biasa.
Bukan untuk belajar, tetapi untuk berkumpul dengan Kak Rais, Kak Mirza, serta
teman-teman yang bisa dibilang suporter. Kami semua lalu berangkat bersama Ibu
Wahyu ke tempat lomba di Banjarmasin, lebih tepatnya di Duta Mall.
“Sampai juga akhirnya.” ucapku ketika kami
semua tiba di Duta Mall. Hal yang membuatku kesal saat itu adalah Duta Mall
yang belum buka. Dan terpakasa kami semua menunggu sampai Duta Mall-nya buka.
Acara yang kunanti-nantikan berbulan-bulan itu
pun akhirnya dimulai. Ada beberapa babak yang harus aku, Kak Mirza, dan Kak
Rais lewati sebelum babak final yang menggunakan format cerdas cermat. Babak
pertama yang harus kami bertiga lewati yaitu menjawab soal yang akan dibagikan.
Grup yang mendapat nilai tertinggi dalam babak ini. “Waduh. Soalnya sudah
sulit, banyak pula.” Kataku dalam hati ketika menerima lembar soal yang harus
kami jawab.
Waktu tinggal sedikit dan soal masih banyak
yang belum terjawab. “Bagaimana ini Kak, banyak lagi soal yang belum dijawab.”
ucapku kepada Kak Rais dan Kak Mirza. Tak ada jalan lain bagi kami selain
menjawab semua soal meskipun dengan sembarang jawaban. Mungkin di antara soal
yang kami jawab sembarang ada beberapa soal yang kebetulan kami jawab benar.
Akhirnya ya sudah jelas, bukan kami yang
langsung masuk ke babak final. Untuk masuk ke babak final kami harus melewati
satu babak lagi, yaitu babak knockout. Peraturannya sederhana, grup mana
yang menjawab salah langsung gugur. Dan empat grup yang tersisa akan masuk ke
babak final untuk memperebutkan juara I, II, dan III.
Soal demi soal berhasil kami jawab. Sudah
banyak grup yang gugur. Namun masih banyak pula yang masih bertahan, termasuk
kami. Namun situasi yang paling kukhawatirkan akhirnya terjadi juga. Kami tidak
dapat menjawab pertanyaan yang diajukan. Kami pun sempat panik. Akhirnya ya
seperti yang sudah-sudah. Kami menjawab sembarang. Ketika jawaban hendak
dibacakan, aku sangat tegang. Aku sudah berfikir untuk keluar dari tempat lomba
dan pulang tanpa hasil.
Ternyata kami masih diberi kesempatan kedua.
Hampir semua grup menjawab salah, termasuk kami. Hanya ada tiga grup yang
menjawab dengan benar. Mereka pun masuk ke babak final. Tetapi masih ada satu
tempat lagi di babak final. “Alhamdulillah…” ucap kami bertiga.
Kami pun berhasil menjawab pertanyaan-
pertanyaan berikutnya. Aku berharap situasi yang tidak menguntungkan tadi tidak
terjadi lagi. Namun harapanku tinggallah harapan. Kejadian yang hampir sama
terulang kembali. Sama seperti tadi, kami pun panik dan tegang. Apalagi tinggal
tiga grup yang masih bertahan. Situasi itu pun semakin menambah keteganganku.
Aku harap masih ada kesempatan ketiga. Namun kesempatan ketiga yang kuharapkan
itu sirna ketika aku mendapati satu di antara tiga grup yang masih bertahan
menjawab dengan benar. Sedangkan kami dan satu grup lain menjawab salah dan
harus memupus harapan untuk menjadi juara.
Aku merasa sangat bersalah. Aku merasa bahwa
akulah penyebab kekalahan kami. Seandainya ada kesempatan ketiga bagiku,
pasti…” kataku dalam hati, “Ah. Tak ada yang perlu disesalkan. Yang terjadi
biarlah tejadi. Tak ada gunanya berandai-andai. Lebih baik aku memikirkan yang
akan datang daripada yang telah lewat. Mungkin ini sudah takdirku.”
Kami pun kemudian pulang. Meski tak meraih
juara, tetapi aku mendapat sebuah pengalaman berharga dan juga makan gratis.
Komentar
Posting Komentar