Assalamualaikum,
saya ingin berbagi sebuah cerpen.
Ini adalah cerpen karangan saya sendiri. Cerpen ini saya buat untuk memenuhi tugas bahasa indonesia di sekolah.
Berikut cerpennya.
saya ingin berbagi sebuah cerpen.
Ini adalah cerpen karangan saya sendiri. Cerpen ini saya buat untuk memenuhi tugas bahasa indonesia di sekolah.
Berikut cerpennya.
Salah Siapa
Karya: Zainuddin
Keringat bercucuran di badanku, padahal dari tadi aku hanya duduk di kursiku sambil sesekali membaca buku pelajaran di hadapanku. Jika kau menganggap aku rajin kau salah. Karena sebenarnya hari ini ada ulangan harian Biologi, jam pelajaran terakhir tepatnya, sementara aku tidak sempat belajar tadi malam. Dan kebetulan ada jam pelajaran kosong. Namun aku sulit fokus belajar karena di luar kelas sangat ribut. Cuaca hari ini sangat panas. Matahari hampir sampai ke puncak. Aku berusaha tetap belajar tapi rasanya
tidak satu pun pelajaran yang masuk ke kepalaku. Jujur saja materi sintesis protein ini tidak begitu aku pahami.Karya: Zainuddin
Keringat bercucuran di badanku, padahal dari tadi aku hanya duduk di kursiku sambil sesekali membaca buku pelajaran di hadapanku. Jika kau menganggap aku rajin kau salah. Karena sebenarnya hari ini ada ulangan harian Biologi, jam pelajaran terakhir tepatnya, sementara aku tidak sempat belajar tadi malam. Dan kebetulan ada jam pelajaran kosong. Namun aku sulit fokus belajar karena di luar kelas sangat ribut. Cuaca hari ini sangat panas. Matahari hampir sampai ke puncak. Aku berusaha tetap belajar tapi rasanya
Kepalaku terasa sangat berat. Jantungku berdetak tak menentu. Nafasku terasa sesak. Apalagi bila kuingat kejadian semalam. Kejadian yang membuat aku lupa bahwa hari ini ada ulangan Biologi. Kejadian yang membuatku hampir tak bisa tidur. Kepalaku terasa semakin berat. Mataku berkunang-kunang. Rasanya kesadaranku mulai hilang. Beberapa saat kemudian semua menjadi hitam. Mungkin ini yang namanya pingsan.
* * *
Baiklah, selagi aku pingsan akan kuceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Sebaiknya mulai dari mana kuceritakan kemalangan yang menimpa diriku ini. Akan kuceritakan saja dari awal perkenalanku dengan seorang gadis yang membuatku kini tak berdaya.
Semua ini berawal dari sepasang sendal jepit merah muda. Ya, sendal jepitlah awal mula semua ini, sendal jepit yang kutemukan tidak sengaja di lapangan voli. Sendal jepit itu pun kuambil dan kupakai setiap ingin berwudhu, meskipun aku tahu sendal itu mlik orang lain karena di sendal itu betuliskan nama seorang perempuan. Hayati, begitu tulisan di sendal itu. Aku tidak kenal siapa pemilik nama Hayati ini—maksudku pemilik sendal bertuliskan Hayati ini, maklum aku adalah murid baru. Beberapa hari sendal ini masih kupakai, hingga seorang gadis datang dan bertanya. Saat itu aku tengah duduk di depan kelas dengan sendal jepit itu di kakiku.
“Maaf, itu sepertinya sendal saya,” tanya gadis itu padaku. “Eh, Kamu Hayati kah?” tanyaku balik. “Iya, Saya Hayati,” jawabnya. “Oh, maaf sendalmu saya pakai. Kemarin saya temukan di lapangan voli,” kataku sambil melepas dan menyerahkan sendal itu kepadanya, “ini sendalmu.” “Iya, tidak apa-apa,” jawabnya.
Dia pun kembali ke kelasnya. Aku baru tahu ternyata kelasnya tepat di samping kelasku. “Oh, Hayati. Sungguh elok rupamu. Alangkah merdu suaramu. Maha suci Allah yang telah menciptakan gadis secantik dirimu,” kataku dalam hati. Rasanya belum pernah aku merasakan perasaan seperti ini. Rasanya bunga di hatiku bermekaran. Ingin aku percakapan singkat tadi terulang. Pernah aku menyukai seseorang, namun rasanya tidak sebahagia ini. Padahal aku baru mengenal dan bertemu dengannya. Inikah yang namanya jatuh cinta.
Hari-hari pun berlalu. Hayati masih saja bersemayam di dalam pikiranku. Ingin aku bisa berbincang lagi dengan Hayati, meski hanya sepatah kata. Tapi aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Rasa ini semakin aneh saja. Bahagia, senang, takut, khawatir, semua kurasakan. Apalagi setelah senyum kecil Hayati padaku kemarin ketika kami berpapasan. Aku hanya membalas senyumnya tanpa berkata apapun. Ingin kupanggil namanya tetapi lidah ini tidak mau diajak bekerja sama. Padahal biasanya aku bisa dengan mudah menyapa orang lain. Kesempatan untuk sekedar bertegur sapa pun sirna. Meskipun begitu aku sudah sangat senang bisa saling senyum dengannya.
Hari-hari kembali berlalu. Kami semakin sering berpapasan dan saling senyum. Hanya saling senyum. Aku masih belum mendapat kesempatan untuk berbicara dengannya. Tetapi kini aku merasa lebih bersemangat menjalani hidup. Aku pun sengaja datang ke sekolah lebih pagi setiap hari hanya agar bisa berpapasan dengannya, karena aku tahu ia sering datang pukul tujuh pagi.
Sudah tiga bulan sejak aku pertama kali mengenalnya. Akhirnya aku mendapat kesempatan yang bagus untuk bisa berbicara dengannya. Saat itu aku dipanggil Pak Yoland karena ada yang ingin Beliau bicarakan. Beliau menyuruhku ke bawah pohon sawo. Saat aku ingin ke sana, kulihat ada Hayati yang sedang duduk di bawah pohon sawo. “Kesempatan yang bagus,” kataku dalam hati. Tapi kakiku berhenti melangkah. Kucoba memberanikan diriku untuk menghampirinya. Tetapi kakiku seolah menancap di semen, tak dapat digerakkan. Kemudian Hayati menoleh ke arahku dan menyapa, “Zai!” Aku hanya dapat tersenyum dan mengangguk. Aku bingung apa yang harus kulakukan. Ingin aku menghampiri dan menyapanya. Tetapi tubuhku seolah tak sanggup melakukannya. Tiba-tiba dari arah kantor guru terdengar suara Pak Yoland, “Zainuddin. Hayati. Kalian duduk dulu, Bapak mau menghadap Kepala Sekolah dulu.” “Iya Pak,” jawabku. Kata-kata Pak Yoland dan teriknya matahari jam 10-an sedikit mencairkan jiwa dan ragaku. Kaki dan mulutku pun mulai mau menuruti perintahku. Aku menghampiri Hayati dan duduk di sampingnya.
“Nunggu Pak Yoland juga, Hayati?” Tanyaku. “Iya Zai, kamu juga?” Katanya. Aku pun menjawab, “Iya. Oh ya, kamu tahu dari mana namaku? Seingatku aku tak pernah memperkenalkan diri.” “Ah, siapa sih yang tidak kenal Zanuddin,” jawabnya. Aku pun tersenyum. “Ternyata aku terkenal juga ya,” Kataku dalam hati. Setelah itu obrolan kami pun semakin cair. Kami juga saling bertukar nomor telepon, pin BBM, ID line, e-mail, pokoknya semua akun yang bisa dijadikan alat komunikasi.
Lalu Pak Yoland datang dan menyampaikan maksud Beliau memanggil aku dan Hayati. Ternyata aku dan Hayati akan diikutkan dalam lomba pidato dua bahasa, Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Aku akan mengambil Bahasa Indonesia dan Hayati mengambil Bahasa Inggris. Tetapi kami satu tim, sehingga materinya harus sama. Kami diberi waktu sebulan untuk menyiapkan materi pidato.
Kami jadi sering berdiskusi di sela waktu istirahat ataupun setelah pulang sekolah untuk menyusun materi pidato. Kami jadi semakin akrab dan akhirnya menjadi sahabat. Meskipun di dalam hatiku aku menyimpan rasa cinta kepada Hayati, tetapi aku tidak ingin mengutarakan perasaanku kepadanya. Aku tidak ingin mengikuti apa yang kebanyakan orang sekarang lakukan. Hanya bersahabat, itulah prinsipku. Aku tidak tahu bagaimana perasaan Hayati terhadapku. Meski aku sangat ingin tahu, namun aku tidak pernah menanyakan hal itu kepadanya. Sebagai sahabat kami sering bercerita, berbagi, dan bertukar pikiran baik tentang masa lalu, sekarang, ataupun masa depan. Tetapi kami tidak pernah membicarakan tentang perasaan masing-masing.
Saking dekatnya aku dengan Hayati, teman kami yang lain bahkan mengira kami pacaran. Tapi kutegaskan bahwa kami ini sahabat. Itulah prinsip yang kupegang berdasarkan kata-kataku saat masih belum paham apa itu cinta, apa itu pacaran. Prinsip itu yang menyelamatkan aku dari kemungkinan ditolak ataupun dibilang tidak laku. Tapi karena prinsip itu juga aku sempat kehilangan Hayati. Biar kuceritakan lagi.
* * *
Abdul Aziz nama lengkapnya. Orang-orang biasa memanggilnya Aziz. Jika aku ditanya apa sebab aku pingsan di kemudian hari, bukan sendal jepit atau prinsipku yang bersalah, tetapi Aziz lah “tersangka” dalam kasus ini. Atlet pencak silat SMAMA dan Kabupaten Banjar. Aku tidak terlalu kenal dengan dia. Hanya tahu nama dan kelas. Pertama kali aku mengenalnya adalah saat upacara bendera. Saat itu dalam acara tambahan, aku dan Hayati dipanggil ke depan untuk menerima penghargaan karena berhasil memenangkan lomba pidato dua bahasa tingkat kabupaten tempo hari. Betapa senang hatiku saat itu. Ternyata Aziz juga dipanggil karena telah berhasil mmenangkan kejuaraan pencak silat tingkat provinsi. Aku berdiri paling kanan sementara Hayati berdiri di sampingku dan Aziz di samping Hayati. Setelah berfoto bersama, aku dan Aziz pun bersalaman. Tak pernah terpikir olehku bahwa orang yang lebih tampan dariku dan terlihat baik ini akan merebut Hayati dariku.
* * *
Kini aku telah duduk di kelas 11. Padahal aku berharap kelasnya diacak. Barangkali aku beruntung bisa sekelas dengan Hayati. Tapi, ya sudahlah. Bisa bersahabat dengan gadis yang tak hanya elok rupanya, tetapi juga perilakunya, seperti Hayati sudah sebuah keberuntungan besar. Setahun sudah aku dan Hayati bersahabat. Kami telah kenal watak masing-masing. Aku telah berbagi hampir semua hal dengan Hayatinya. Begitu pula dengannya. Hanya satu hal yang tak bisa aku tanyakan kepadanya, atau aku ceritakan padanya. Yaitu bagaimana perasaannya terhadapku, atau bagaimana perasaanku terhadapnya. Ya, begitulah persahabatan kami selama ini. Rasa cintaku terhadapnya tak sedikitpun berkurang. Malahan semakin besar. Namun kurasa hatiku masih sanggup menyimpan perasaan ini sendiri. Tak perlu lah Hayati tahu perasaanku ini, setidaknya saat ini.
* * *
Kembali lagi ke cerita bagaimana Aziz merebut Hayati dariku, itulah yang kurasakan. Tapi aku tak tahu apakah Aziz menganggap dirinya merebut Hayati dariku atau tidak. Aku tak tahu sejak kapan Aziz mulai mendekati Hayati dan sejauh mana kedekatan Hayati dengannya. Hingga suatu hari Hayati mengirimkan e-mail padaku.
Untuk sahabatku Zainuddin,
Zai, bolehkah aku meminta saran darimu? Aku bingung bagaimana menceritakannya padamu. Ingin aku langsung bicara denganmu, tapi kurasa lebih mudah aku mencurahkan ini lewat tulisan. Begini Zai, kau tahu Aziz kan. Ia orang baik Zai. Sejak sebulan ini ia mendekatiku. Dan kemarin tiba-tiba saja ia menyatakan cinta kepadaku. Padahal aku tidak terlalu kenal dengan dia. Tapi dia tiba-tiba saja bilang begitu. Sungguh aku bingung Zai. Kau tahu kan bagaimana pengalamanku. Rasanya hatiku ini belum siap untuk menerimanya. Tapi aku tak tega menolaknya. Ia sudah sangat baik denganku. Ia juga sekelas dengan sahabatku sejak kecil. Tetapi sahabatku itu tidak tahu hal ini. Sungguh aku dilanda keraguan Zai. Aku tak ingin memaksakan perasaanku kepadanya. Tapi aku juga tak mau ia kecewa. Sudah kukatakan pada Aziz tentang pengalamanku. Tapi katanya jalani saja. Aku tak dapat memutuskan. Aku benar-benar ragu, Zai. Kubilang padanya akan kupikirkan. Tapi aku tak tahu harus apa. Kumohon saranmu, Zai. Apa yang harus aku lakukan? Maaf Zai tulisanku berbelit-belit. Aku harap kau mengerti dan bisa membantuku. Dari Nur Syifa Hayati
Tersentak aku membaca e-mail dari Hayati. Tak kusangka telah sejauh itu Aziz mendekati Hayati. Kalau istilah remaja zaman sekarang, Aziz sudah nembak Hayati. Aku pun akhirnya ikut bingung. Apa yang sebaiknya aku sampaikan pada Hayati. Ingin langsung kukatakan padanya jangan, tapi aku tak ingin dianggap terlalu mengaturnya. Tapi jika kubilang iya, tak bisa kubayangkan apa yang terjadi padaku. Akhirnya kutulislah e-mail kepada Hayati.
Untuk Hayati, sahabatku,
Hayati, telah kubaca e-mail darimu. Aku pun ikut bingung dengan masalahmu. Aku tidak pernah mengalami hal semacam itu. Aku juga tidak tahu bagaimana rasanya ditolak seorang perempuan.
Jika kau memang ragu, Hayati, cobalah kembali pada hal yang kau yakini. Aku yakin kau pasti tahu apa yang seharusnya kau yakini dan keputusan apa yang harus kau buat. Memang sulit rasanya memaksakan hatimu untuk menerima orang lain. Bisa saja hatimu berontak dan itu pasti akan menyakitkan.
Tapi kau bilang ia sudah sangat baik dan kau takut ia kecewa. Kau ini memang orang yang sangat baik Hayati. Sudah banyak luka di hatimu dan pedih yang kau alami. Kau sendiri yang bilang begitu padaku. Bahkan kau bilang padaku bahwa hatimu tak kuat lagi bila harus terluka sekali lagi. Tapi kini keadaannya memaksa dirimu memutuskan untuk tetap menjaga hatimu atau membiarkan orang itu masuk ke dalam hatimu. Mungkin ia bisa menjadi obat bagi hatimu. Tapi ia juga bisa menjadi luka yang semakin menyakiti hatimu. Lagi pula apa gunanya pacaran? Apa tujuanmu bila kau terima dia? Apa yang kau dapatkan dari yang namanya pacaran itu?
Maaf bila pertanyaanku terlalu keras. Tapi ini hanya masalah keyakinanmu, Hayati. Ingatlah apa yang seharusnya kau yakini. Putuskanlah yang terbaik untukmu.
Hanya itu yang dapat kukatakan padamu, Hayati. Maaf bila aku tidak banyak membantu.
Dari Zainuddin
Jam 10 malam baru dapat kuselesaikan e-mail itu. Kuharap Hayati belum tidur dan sempat membacanya.
Esok paginya di sekolah, aku datang ke sekolah dan berjalan menuju kelasku. Aku bertemu Hayati yang sedang duduk di depan kelasnya. Hayati pun menegurku.
“Zai, e-mail-mu sudah kubaca. Maaf bila aku merepotkanmu. Aku benar-benar bingung. Aku juga tidak tahu apa yang aku yakini.” “Tak apa, Hayati. Seharusnya aku bisa membantu lebih banyak. Namun aku pun bingung harus memberi saran seperti apa.” Kataku padanya. Hayati hanya diam. “Maaf, Hayati. Aku harus ke kelas sekarang. Aku harus piket.” Kataku. Hayati menyahut, “iya, Zai. Terima kasih.” “Ya, sama-sama,” sahutku sambil berjalan dan menoleh ke arahnya.
Sejak itu, tidak ada lagi percakapan antara kami. Satu minggu kemudian, saat aku berjalan dari ruang komite menuju kantor guru, aku melihat Hayati sedang berbicara dengan Aziz di bawah pohon sawo. Di tempat aku pertama kali berbicara cukup lama dengan Hayati. Kakiku terdiam dan berhenti melangkah. Mataku tak bisa lepas dari mereka berdua. Sepertinya Aziz sedang menunggu jawaban Hayati. Hayati pun mengangguk dan senyum bahagia muncul di wajah Aziz. Meskipun anggukan Hayati tidak terlalu meyakinkan, tetapi Hayati nampak tersenyum. Entah apakah arti senyum Hayati itu. Tapi aku jadi yakin bahwa Hayati telah menerima cinta Aziz. Aku sangat cemas. Cemas bahwa keyakinanku itu benar adanya. Tanganku terasa dingin. Aku pun lupa apa yang mau kulakukan tadi. Aku melangkah dengan lemas menuju kelas. Aku tak bisa fokus belajar di kelas.
Saat pulang sekolah, aku semakin yakin bahwa Hayati telah berpacaran dengan Aziz. Aku melihat Aziz mendatangi Hayati dan mereka pulang bersama. Aku pura-pura tidak melihat mereka. Aku pun sengaja pulang lewat jalan berbeda agar tidak bertemu mereka berdua. Kenyataan ini terus menghantui diriku. Sepanjang perjalanan ke rumah, aku terus terbayang Aziz dan Hayati bersama. Sepeda motorku terus kupercepat hingga 100 km/jam. Ingin aku bisa cepat sampai di rumah. Sesampainya di rumah, aku masih terus terbayang kenyataan pahit ini. Seluruh badanku terasa lemah dan tak bertenaga. Makan tak enak, tidur tak bisa, apalagi belajar.
“Kamu kenapa, Din?” tanya ibuku melihat aku hanya diam sejak Magrib tadi. “Tidak, Bu. Aku tidak apa-apa,” jawabku. “Ya sudah. Makan dulu, setelah itu Sholat Isya,” Perinyah ibuku. “Iya, Bu,” jawabku.
Aku pun berusaha untuk makan. Tapi kerongkongan ini seolah menolak untuk menelan makanan. Tapi lumayanlah, beberapa suap nasi dapat kupaksakan untuk masuk ke perut. Selepas itu aku Sholat Isya kemudian berbaring di kamarku. Kucoba pejamkan mata ini, tetapi aku tak bisa tidur juga. Wajah Hayati dan Aziz terus terbayang. Perasaan ini sungguh menyiksa batinku. Hingga membuat tubuhku pun ikut tersiksa. Sempat aku tertidur sebentar. Namun aku terbangun lagi. Kulihat ponselku dan ternyata sudah pukul dua dini hari. Aku pun berusaha bangkit dari tempat tidurku. Ke berjalan ke kamar mandi dan berwudhu. Rasanya sudah lama aku tidak Sholat Tahajjud. Mungkin dengan mendekatkan diri pada Allah, jiwaku akan menjadi tenang. Aku hanya mampu sholat dua rakaat. Tubuh ini tak sanggup lagi berdiri. Dalam sujud terakhirku aku berdoa: “Ya, Allah, ampunilah segala dosaku. Tenangkanlah jiwaku ini ya Allah. Dekatkanlah diriku padamu ya Allah.” Hanya itu yang kuminta. Aku sadar selama ini aku semakin jauh dari Allah. Selepas itu aku menjadi lebih tenang. Akhirnya aku bisa tidur dengan nyenyak.
Azan Shubuh berkumandang. Aku pun terbangun. Bayang-bayang Hayati dan Aziz masih menghantui pikiranku. Aku segera berwudhu dan Sholat Subuh. Kemudian aku mandi lalu berpakaian. Aku masih tak nafsu makan. Aku hanya sarapan dengan beberapa suap nasi. Aku sengaja berangkat agak lambat supaya aku tak bertemu Hayati. Aku pun sengaja berjalan memutar agar tak melewati kelas Hayati ataupun kelas Aziz.
Sesampainya di kelas aku baru ingat bahwa hari ini ada ulangan Biologi. Ah, habis aku. Untungnya ada jam kosong sebelum jam Biologi. Aku pun berusaha belajar meski tak bisa fokus.
* * *
Kembali lagi ke cerita awal. Aku pingsan dan dibawa ke UKS. Aku tak tahu berapa jam aku pingsan. Saat aku mulai sadar kulihat ada seorang perempuan di sampingku.
“Hayati, kau kah itu?” tanyaku. “Iya, Zai. Ini sahabatmu Hayati. Apa yang terjadi padamu Zai?” sahut Hayati. Rupanya Hayati masih menganggapku sahabatnya. “Tak apa, Hayati. Mungkin aku hanya kelelahan. Oh ya, jam berapa sekarang?” Kataku. “Lelah memikirkanmu, Hayati,” ucapku dalam hati. “Sudah jam tiga, Zai. Apa kau mau pulang? Biar aku hubungi orang tuamu.” Jawab Hayati. Aku menjawab, “tak usah Hayati, kurasa aku bisa pulang sendiri. Kau tidak pulang?” “Aku memang ingin pulang, tapi aku khawatir padamu, Zai.” Ucap Hayati. “Tak usah khawatir, Kau pulanglah. Aku juga sebentar lagi pulang.” Kataku. “Baiklah, Zai. Semoga cepat sembuh. Oh ya, tadi teman-temanmu juga ada di sini, tetapi mereka sudah pulang.” Sambung Hayati. Hayati lalu keluar dari UKS dan pulang,
Setelah Hayati pulang, Aziz lalu masuk ke UKS dan menghampiriku. Mau apa dia datang ke sini. Belum puas kah ia membuatku begini. Astagfirullah, aku telah berburuk sangka saja kepadanya. Padahal aku sendiri tahu ia orang yang baik. Ia menatap dalam mataku. Aku pun mengalihkan pandangan mataku karena aku tak mau ia tahu bahwa aku kesal padanya.
“Maafkan aku, Zai,” katanya. “Kenapa kau meminta maaf padaku, Ziz?” tanyaku. “Aku baru sadar kalau kau ternyata mencintai Hayati. Dan aku yakin cintamu padanya lebih besar dari cintaku.” Jawab Aziz. “Kenapa kau berkata begitu?” tanyaku lagi. “Kau tak perlu tahu itu,” jawabnya, “Benarkan apa yang kukatakan?” Aku hanya diam dan tak dapat berkata apa-apa. Aziz pun kembali berkata, “Kau tak perlu menyembunyikannya dariku, Zai. Kita mencintai orang yang sama. Tetapi kau mampu menyimpan perasaan sebesar itu sendiri, Zai. Sementara hatiku yang kecil ini tak mapu menyimpan sendiri perasaanku yang bahkan tidak lebih besar dari perasaanmu terhadap Hayati.” Aku masih diam sementara Aziz kembali melanjutkan perkataannya, “Kau tak usah khawatir, Zai. Telah kuputuskan hubunganku dengan Hayati. Aku sadar tindakanku bisa memutuskan persahabatan kau dengan Hayati. Hayati juga terlihat masih ragu menerima cintaku. Maafkan keegoisanku ini, Zai. Keegoisanku telah menyebabkan kau jadi begini.” Sungguh tak pernah kusangka Aziz akan berkata seperti itu. Terharu aku mendengarnya. Tak kuasa kutahan air mataku ini agar tak jatuh. Tetapi tumpah jua air mata ini membasahi mukaku yang telah dapat tersenyum. Lidahku masih tak dapat berkata apa-apa.Aziz, orang yang telah menyebabkan luka di hatiku, ternyata ia juga yang mengobati luka itu. Aziz pun beranjak dari tempat ia duduk. Aku masih terdiam setelah mendengar kata-katanya. Aku terbayang saat-saat yang telah kulalui dengan Hayati. Aku segera tersadar ketika Aziz akan membuka pintu UKS. Aku pun langsung memanggilnya. “Aziz,” Ia pun menoleh dan kulanjutkan kata-kataku, “terima kasih, Ziz. Dan maaf aku sempat berburuk sangka padamu.” “Tak apa, Zai.” Sahutnya. Aziz pun melangkah keluar dari UKS dan pergi. Aku pun segera bangkit dari kasur tempatku berbaring. Kuminum teh yang telah dingin di samping kasur. Rasanya jiwaku telah sepenuhnya kembali. Aneh juga rasanya aku langsung sembuh setelah hampir tak berdaya. Aku lalu mengambil tasku dan pulang ke rumah.
Sejak saat itu persahabatanku dengan Hayati berjalan seperti semula. Perasaan Hayati padaku masih menjadi misteri yang sepertinya tak akan kuketahui dalam waktu dekat. Aku juga menjadi akrab dengan Aziz. Aku tak hanya mendapatkan kembali sahabatku, tetapi juga mendapatkan sahabat baru sebaik Aziz. Dan satu lagi hal yang membuatku sangat bersyukur. Kejadian semalam membuat aku harus mengikuti ulangan biologi susulan. Sehingga aku bisa belajar terlebih dahulu.
--TAMAT--
Komentar
Posting Komentar